Kamis, 31 Desember 2015



 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Keuangan Syari’ah
Menurut Ibrahim Warde, Keuangan Islam adalah lembaga keuangan milik umat Islam, melayani umat Islam, ada dewan syari’ah, merupakan anggota organisasi internasional bank Islam (IAIB) dan sebagainya. Lebih luas, keuangan Islam meliputi tidak hanya persoalan perbankan, tetapi juga meliputi kerjasama saling membiayai, keamanan dan asuransi perusahaan.
Menurut Imam Sugema dalam Understanding Sharia, keuangan syari’ah dengan prinsipnya adalah yang tidak mengenal riba’ bahkan melarangnya ada dalam keuangan Islam.[1] Struktur keuangan Islam sangat kuat dan bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta penafsiran terhadap sumber-sumber wahyu ini oleh para ulama.
1.      Sistem Keuangan Syari’ah
Sistem keuangan syari’ah merupakan sistem keuangan yang menjembatani antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang memiliki kelebihan dana melalui produk dan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip-prisip syari’ah. Seluruh transaksi yang terjadi dalam kegiatan keuangan syari’ah harus dilaksanakan berdasarkan prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah adalah prinsip yang didasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam konteks Indonesia, prinsip syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan dan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.[2]
Sistem keuangan syariah didasari oleh dua prinsip utama, yaitu Prinsip Syar’i dan Prinsip Tabi’i. Prinsip-prinsip Syar’i dalam system keuangan syari’ah adalah sebagai berikut :
a.       Kebebasan bertransaksi, namunn harus didasari prinsip suka sama suka dan tidak ada pihak yang didzalimi dengan didasari oleh akad yang sah. Disamping itu, transaksi tidak boleh dilakukan pada produk-produk yang haram.
b.      Bebas dari maghrib (maysir; yaitu judi, gharar; yaitu ketidakpastian/ penipuan dan riba, yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil (tidak sah)).
c.       Bebas dari upaya mengendalikan,merekayasa dan memanipulasi harga.
d.      Semua orang berhak mendapatkan informasi yang berimbang, memadai, dan akurat agar bebas dari ketidaktahuan dalam bertransaksi.
e.       Pihak-pihak yang bertransaksi harus mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga yang mungkin dapat terganggu, oleh karenanya pihak ketiga diberikan hak atau pilihan.
f.       Transaksi didasarkan pada kerja sama yang saling menguntungkan dan solidaritas (persaudaraan dan saling membantu).
g.      Setiap transaksi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.
h.      Mengimplementasikan zakat.
Sedangkan, prinsip-prinsip tabi’i adalah prinsip-prinsip yang dihasilkan melalui interpretasi akal dan ilmu pengetahuan dalam menjalankan bisnis seperti manajemen permodalan, dasar dan analisis teknis, manajemen cash flow, manajemen risiko dan lainnya.
Dengan demikian,sistem keuangan syari’ah diformulasikan dari kombinasi dua kekuatan sekaligus, pertama prinsip-prinsip syar’i yang diambil dari Al-Quran dan Sunnah, dan kedua prinsip-prinsip tabi’i yang merupakan hasil interpretasi akal manusia dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi seperti manajemen, keuangan bisnis dan prinsip-prinsip ekonomi lainnya yang relevan.[3]
Sistem keuangan syari’ah merupakan aliran sistem keuangan yang didasarkan pada etika Islam. Sistem keuangan syari’ah tidak sekedar memperhitungkan aspek return (keuntungan) dan risiko, namun juga ikut mempertimbangkan nilai-nilai Islam di dalamnya.[4]
2.      Fungsi  Sistem Keuangan Syariah
a.    Memobilisasi tabungan, sistem keuangan syari’ah dapat mencipta- kan berbagai instrument yang dapat digunakan untuk memobilisasi dana dalam jumlah kecil tetapi banyak. Karakteristik pertama sistem keuangan syari’ah adalah kredibelitas yang memainkan peran penting. Sistem keuangan yang kredibel akan mampu mengumpulkan dana masyarakat dengan biaya yang rendah.


b.    Mengalokasikan sumber daya, sistem keuangan syari’ah dapat berperan sebagai pengumpul informasi mengenai peluang-peluang investasi secara lebih efisien sehingga membantu memperbaiki alokasi sumber daya. Karakteristik kedua dari sistem keuangan syari’ah yang berfungsi dengan baik adalah kemampuan mengumpulkan, mengolah, dan menerjemahkan informasi menjadi alat pengambil keputusan investasi yang terlihat pada pergerakan harga instrument keuangan yang mencerminkan kondisi fundamental.
c.    Memantau para manajer dan melaksanakan pengawasan perusahaan, sistem keuangan syari’ah dapat berperan dalam melakukan kegiatan monitoring dan verifikasi tersebut sehingga berdampak positif pada perkembangan investasi dan efisiensi ekonomi. Karakteristik ketiga, sistem keuangan syari’ah yang berfungsi dengan baik, yaitu rendahnya kasus-kasus penyelewengan oleh manajemen perusahaan-perusahaan public atau perusahaan-perusahaan yang mendapatkan dana melalui lembaga intermediasi.
d.   Memfasilitasi perdagangan, lindung nilai, diversifikasi, dan penggabungan risiko, karakteristik keempat dari sistem keuangan yang berfungsi dengan baik adalah kemampuan mendiversifikasi- kan risiko dengan baik.
e.    Memfasilitasi transaksi barang dan jasa agar lebih efisien, karakteristik kelima dari sistem keuangan syari’ah yang berfungsi baik adalah adanya mekanisme transaksi keuangan yang cepat, aman dan biaya rendah.[5]
3.      Karakteristik Sistem Keuangan Syari’ah
Ada beberapa karakteristik keuangan Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Ilmiyah wa Al-Amaliyah Al-Islamiyah yakni sebagai berikut:
a.       Harta kepunyaan Allah dan manusia merupakan khalifah atas harta. Karakteristik ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a)      Semua harta, baik benda maupun alat produksi adalah milik Allah (kepunyaan Allah), Allah berfirman dalam QS. Al- Baqarah ayat 284 : “Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
b)      Manusia adalah khalifah atas harta miliknya, yang kemudian diterangkan dalam QS. Al-Hadid ayat 7 : “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infaqkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menginfaqkan (hartanya dijalan Allah) memperoleh pahala yang besar”.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut terlihat jelas perbedaan antara sistem kepemilikan dalam sistem ekonomi keuangan Islam dan sistem ekonomi lainnya. Dalam sistem Islam kepemilikan pribadi, walaupun hakekatnya tidak mutlak dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
b.      Keuangan terikat dengan aqidah, syari’ah (hukum) dan moral.
Hubungan keuangan Islam dengan aqidah dan syari’ah sangatlah nampak dalam banyak hal. Hubungan tersebut menjadikan kegiatan ekonomi dalam Islam menjadi sebuah rangkaian ibadah.
Sedangkan, untuk hubungan antara keuangan syari’ah dengan moral, dapat dilihat dari larangan Nabi dalam penggunaan harta milik yang dapat menimbulkan kerugian kepada orang lain dan kepentingan masyarakat, larangan melakukan penipuan dalam transaksi, serta larangan menimbun harta yang dapat menimbulkan kelangkaan barang dan menghambat peredaran uang yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
c.       Keseimbangan antara kerohanian dan kebendaan.
d.      Ekonomi Islam menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.
e.       Kebebasan individu dijamin dalam Islam.
f.       Negara diberi wewenang untuk turut campur dalam perekonomian Islam.
g.      Bimbingan konsumsi. Segala sesuatu telah diatur dalam Islam, termasuk dalam pemakaian atau konsumsi terhadap barang produksi dimana Allah telah melarang manusia untuk berlebih- lebihan dan bermewah-mewahan serta bersikap angkuh yang bertentangan dengan prinsip kesederhanaan dalam Islam.
h.      Petunjuk investasi. Dalam Islam ada lima criteria yang dijadikan pedoman dalm proyek investasi, yaitu:
a)      Proyek yang baik menurut Islam,
b)      Memberikan rezeki seluas mungkin kepada masyarakat luas,
c)      Memberantas kefakiran, memperbaiki pendapatan serta keuangan dan kekayaan,
d)     Memelihara dan dapat menumbuhkembangkan harta,
e)      Melindungi kepentingan anggota masyarakat.
i.        Zakat. Zakat merupakan karakteristik yang sangat menonjol dalam sistem ekonomi dan keuangan Islam yang tidak terdapat dalam sistem ekonomi dan keuangan lainnya, dimana seseorang dituntut untuk menyisihkan dan mengeluarkan sebagian dari hartanya bagi saudaranya yang lebih membutuhkan sebagai sarana pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki ataupun dendam.
j.        Larangan riba’. Dalam penggunaannya uang harus sesuai dengan fungsi normalnya yaitu sebagai alat transaksi dan alat penilaian barang. Sedangkan, riba’ adalah salah satu penyelewengan uang dari fungsi normalnya oleh karena itu hal ini sangat dilarang dalam Islam, dan tidak diperbolehkan ada dalam transaksi keuangan Islam.[6]
B.     Prinsip-prinsip Dasar Keuangan Syari’ah
Sebagai suatu hal yang bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah, keuangan syari’ah memiliki prinsip yang mendasari dari pada keuangan syari’ah itu sendiri. Prinsip syari’ah pada aspke keuangan yakni :
1.      Setiap perbuatan akan dimintakan pertanggungjawabannya.
2.      Setiap harta yang diperoleh terdapat pula hak orang lain.
3.      Uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka dalam perencanaan, pengorganisasian, penerapan dan pengawasan yang berhubungan dengan keuangan secara syari’ah adalah:
1.      Setiap upaya dalam memperoleh harta semestinya memperhatikan cara-cara yang sesuai dengan syari’ah seperti perniagaan atau jual beli, pertanian, industry dan jasa-jasa.
2.      Obyek yang diusahakan bukan sesuatu yang diharamkan.
3.      Harta yang diperoleh digunkan untuk hal-hal yang tidak dilarang atau mubah seperti membeli barang konsumtif. Digunakan untuk hal-hal yang dianjurkan atau disunnahkan seperti infaq, waqaf, sadaqah. Digunakan untuk hal-hal yang wajib seperti zakat.
4.      Dalam hal ini menginvestasikan uang juga harus memperhatikan prinsip “uang sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan”, dapat dilakukan secara langsung atau melalui lembaga intermediasi seperti bank syari’ah dan reksa dana syari’ah.[7]
a.      Prinsip Dasar Keuangan Syari’ah
            Perbankan Islam adalah sistem perbankan yang selain melarang bunga , juga merupakan sistem perbankan yang harus menjauhi berbagai larangan seperti larangan melakukan transaksi yang mengandung unsur gharar (ketidakpastian) , maysir (perjudian), dan mentransaksikan objek yang dilarang. Disamping menjauhi larangan-larangan, perbankan syari’ah dalam keuangan ekonomi Islam wajib melaksanakan berbagai prinsip, yaitu prinsip keadilan,prinsip kebaikan (maslahah), zakat, bebas dari riba’, bebas dari gharar, bebas dari hal yang tidak sah (bathil).
1.      Prinsip Keadilan, yakni suatu prinsip yang harus adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Serta tata hubungan sederajat atau tidak ada pihak yang dirugikan diantarnya. Selain itu juga, prinsip keadilan ini juga ini menerapkan prinsip agar menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Dalam arti kata lain, berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi risiko masing-masing pihak.
2.      Prinsip Kebaikan (Kemaslahahan), yakni prinsip yang berorientasi pada kebutuhan orang banyak atau masyarakat banyak dan berorientasi juga pada pemenuhan kebutuhan dasar bukan keinginan. Melakukan investasi pada sektor yang halal.
3.      Prinsip kesetaraan, kesukarelaan, dan keadilan, salah satunya adalah zakat. Zakat merupakan instrument keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Keadilan dan kesetaraan berarti setiap orang harus memiliki peluang yang sama dan tidak berarti bahwa mereka harus sama-sama miskin atau sama-sama kaya. Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani perbedaan social dalam masyarakat dan agar kaum muslim mampu menjalani kehidupan social dan material yang bermartabat dan memuaskan.
4.      Bebas dari riba’, riba secara bahasa berarti ziyadah (tambahan). Sedangakan, menurut istilah riba berarti pengambilan dari harta pokok atau modal secara bathil (Antonio, 1999).
5.      Bebas dari gharar, gharar artinya menjalankan suatu usaha tanpa pengetahuan yang jelas atau menjalankan transaksi denga risiko yang berlebihan.
6.      Bebas dari hal yang tidak sah (bathil), uang bukan untuk diperdagang kan, uang akan bernilai apabila di investasikan.[8]
Prinsip Bagi Hasil
            Gagasan dasar sistem keuangan Islam secara sederhana didasarkan pada adanya prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Menurut hokum perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis didirikan dengan tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama.
Mudharabah (Investasi)
            Mudharabah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkap- kan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli.
Musyarakah (Kemitraan)
            Musyarakah berasal dari kata syirkah, yang artinya pencampuran atau interaksi. Secara terminologi, syirkah adalah persekutuan usaha untuk mengambil hak atau untuk beroperasi. Musyarakah sebagai alat kerja sama antar dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dengan kondisi masing-masing pihak memberikan kontribusi dana, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangakan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana.[9]



Prinsip Umum Akuntansi Islam
Berdasarkan Surat Al Baqarah 282:
    1. Prinsip Pertanggungjawaban (accountability)
      Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dala praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.
    2. Prinsip Keadilan
      Dalam konteks akuntansi, menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.
    3. Prinsip Kebenaran
      Dalam akuntansi selalu dihadapkan pada masalah pengakuan & pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi.
C.    Pengimplementasiannya
Implementasi Prinsip Dasar Keuangan Syari’ah
Implemetasi prinsip dasar keuangan syari’ah bisa dilihat dari segi perbankan syari’ah dan produk-produknya. Pada perbankan syari’ah tentunya menerapkan suatu akad atau perjanjian didalamnya, diantaranya adalah akad Mudharabah (Investasi) dan Musyarakah (Kemitraan). Atau tergantung pada perjanjiannya, menggunakan prinsip bagi hasil pun bisa. Hanya dalam hal penerapannya, baik itu akad mudharabah atau musyarakah tidak diperkenankan untuk adanya unsur gharar, maysir, riba dan bathil. Karena prinsip tersebut dilarang oleh ajaran agama Islam, karena dalam prinsip keuangan islam itu hanya diperbolehkan untuk ada prinsip keadilan kesetaraan dan saling membantu. Kejujuran juga sangat diperlukan dalam hal ini, karena dengan kejujuran antara kedua pihak yang bertransaksi dapat memenuhi keuangan ekonomi syariah dengan dasar ibadah. Kedua pihak harus saling mengungkapkan harga awal dan hasil akhir yang diperoleh dalam kerjasamanya.
Dalam merealisasikan apa yang diinginkan dalam penerapan atau implementasi keuangan syari’ah, contohnya dalam suatu lembaga atau badan keuangan syari’ah perlu adanya kebijakan yang memiliki prinsip amanah dan keadilan, sehingga dapat terwujud tujuan daripada lembaga atau badan keuangan syari’ah tersebut dalam mensejahterakan rakyat banyak.
Kebijakan tersebut tentunya dilahirkan dari oleh para pelaku lembaga keuangan tersebut sebagai pembuat regulasi dalam operasionalnya. Seandainya para pengelola lembaga atau badan tersebut tidak mampu melahirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, maka akan terjadilah mal praktik yang dapat menyebabkan ambruknya bisnis dalam lembaga keuangan tersebut, dan dana yang dihimpun dari masyarakat hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu atau bahkan satu pihak saja.
Agar tidak sampai terjadi penyalahgunaan wewengan dalam mengurus lembaganya, maka pelaku tersebut harus memiliki moral yang baik. Setiap tindakannya dalam melahirkan suatu kebijakan akan sangat erat kaitannya dengan etika. Jika moral mereka baik, maka akan lahir kebijakan yang selalu berpihak kepada masyarakat. Sebaliknya jika moral mereka rusak, maka secara sadar lembaga keuangan tersebut menyumbangkan petaka terhadap perekonomian masyarakat.
Lembaga keuangan, khususnya bank syari’ah, menjalankan peranannya sebagai keuangan Islam. Dan bank syari’ah menjalankan perannya sebagai lembaga perantara keuangan. Bank Syari’ah mengambil posisi tengah diantara orang yang memiliki dana berlebih dan orang yang kekurangan atau membutuhkan dana. Lembaga ini juga terletak diantara kalangan pembeli dan penjual serta diantara pihak pembayar dan penerima.
 Bertolak dari hakikat kedudukannya sebagai lembaga perantara, sebuah lembaga perbankan hadir di tengah kegiatan perekonomian masyarkat bukanlah karena kebutuhan sendiri. Ia bukanlah produsen yang menghasilkan sendiri uang atau dana lalu merasa perlu untuk mendistribusikannya. Ia hadir justru karena kebutuhan masyarakat dan karena tuntunan ekonomi. Kelangsungan dan perkembangannya kelak bergantung pada sejauh mana lembaga tersebut dapat mengimplementasikan amanah yang telah diembannya serta dari profesionalitas pelaku perbankan sendiri dan bukan karena besarnya jumlah pendanaan.[10]
BAB III
PENUTUP
          Berdasarkan apa yang telah dipaparkan, bahwa keuangan syari’ah sangat berpengaruh dan memiliki peran penting dalam mengatur ekonomi Islam dan ekonomi lain. Sistem keuangan syari’ah yang menerapkan prinsip keadilan dan kemaslahahan di dalamnya dapat menjadi pedoman penting bagi masa depan keuangan ekonomi Islam. Dari sistemnya pula kita dapat mengetahui prinsip syari’ah memandang harta dan uang, bahwa sebenarnya seluruhnya kepunyaan Allah dan manusia hanya diamanahkan untuk menjaga, memelihara dan memanfaatkan uang seefisien mungkin dan seoptimal mungkin di jalan Allah. Prinsip dasar keuangan Islam juga mengakui kepemilikan pribadi dalam batasan-batasan tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi.
            Kekuatan penggerak utama keuangan ekonomi syari’ah adalah kerjasama. Seorang muslim apakan ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya. Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Dalam prinsip keuangan syari’ah pula menerapkan zakat dengan tujuan keadilan dan kesetaraan, zakat seorang muslim yang apabila kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat.
DAFTAR PUSTAKA
          Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002)
Soemitra Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2009)
            Antonio M. Syafi’I, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001)
            Sutan Remi Sjahdeini, PERBANKAN SYARIAH: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014, Cetakan ke-1
            Yaya Rizal, Martawireja Aji Erlangga, Abdurahim Ahim, Akuntansi Perbankan Syari’ah: Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat, 20014

Dumairi , Lembaga Keuangan Islam: Problem, Tantangan dan Peluang di Era Reformasi, (Makalah Seminar Problem dan Tantangan Lembaga Keuangan Syari’ah, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah), Yogyakarta: 2007


           


[1] Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 2002, halaman 11
[2] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2009, halaman 19
[3] Ibid, halaman 20
[4] Ibid, halaman 21-22
[5] Ibid, halaman 23
[6] http://hanz-one.blogspot.in/2013/02/keuangan-islam-prinsip-prinsip-dasar_9041.html
[7] M. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001, halaman 237
[8] Sutan Remi Sjahdeini, PERBANKAN SYARIAH: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014, Cetakan ke-1, halaman 155
[9] Rizal yaya, Aji Erlangga Martawireja, Ahim Abdurahim, Akuntansi Perbankan Syari’ah: Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat, 20014, halaman 133-135
[10] Dumairi , Lembaga Keuangan Islam: Problem, Tantangan dan Peluang di Era Reformasi, (Makalah Seminar Problem dan Tantangan Lembaga Keuangan Syari’ah, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah), Yogyakarta: 2007

Rabu, 30 Desember 2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Q.S. Al-Baqarah Ayat 283
B.     Q.S. An Nissa Ayat 35

C.    Q.S. An Nissa Ayat 58

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Q.S. AL-BAQARAH AYAT 283
1.    Terjemahan Q.S. Al-Baqarah ayat 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 283)

2.    Kata Kunci Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Farihaanun           : Maka (ada) barang jaminan
Maqbuudhatun      : Yang dipegang
Amina                    : Mempercayai

3.    Penjelasan Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Ayat ini menrangkan transaksi tidak tunai yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang juru tulis (kaatibaan) yang menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang oleh yang berpiutang, “Farihaanun Maqbuudhatun”. Barang tanggungan itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya memercayai juga sebagai pemenuhan prinsip kehati-hatian. Kecuali masing-masing pihak saling percaya dan menyerahkan diri kepada Allah maka transaksi itu boleh dilakukan tanpa adanya borg karena yang berhutang akan membayar.
Ayat ini tidaklah menetapkan bahwa borg itu hanya boleh dilakukan dengan syarat dalam perjalanan, transaksi tidak tunai dan tidak ada juru tulis, namun ayat ini menyatakan bahwa dalam keadaan tersebut dibenarkan untuk memakai borg. Misalnya, dalam keadaan transaksi lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Annas ra., ia berkata, “Rasullullah saw. Menggadaikan baju besi kepada orang yahudi di Madinah dan beliau mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau”. Sebenarnya kunci dari transaksi yang dijelaskan oleh ayat ini secara moral yaitu adanya kepercayaan antar pihak yang melakukan transaksi sehinggaa bisa disebut sebagai bisnis kepercayaan “Amina Ba’dhukum Ba’dhan.” Sedangkan pemberlakuan borg menjadi simbol nyata dari kepercayaan sehingga dapat saling memenuhi kewajiban antar pihak.[1]
4.    Kandungan Ayat Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Setiap transaksi yang mengandung perjanjian penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun jika tidak memungkinkan perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang menjadi saksi. Jika ternyata tidak ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan adanya jaminan.
Prisnsip mu’amalat adalah saling percaya dan menjaga kepercayaan semua fihak. Untuk menghilangkan keraguan maka hendakla diadakan perjanjian secara tertulis atau jaminan. Namun kalau semuanya saling mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan aslakan tetap menjaga amanah.
Orang yang mengetahui fakta kebenaran mesti bersedia menjadi saksi. Bersaksi dalam kebenaran, merupkan ibadah. Sebaliknya yang menyembunyikan kesaksian, terancam siksa. Sedangkan bersaksi palsu termasuk dosa besar.Taqwa mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu dalam jual beli, utang piutang, atau mu’amalat lainnya mesti didasari taqwa.
Taqwa juga mesti dimanifestasikan dalam menjaga amanah, kepercayaan, kejujuran dan menjauhi hal-hal yang merugikan fihak manapun. Allah SWT maha mengetahui segalanya. Oleh karena itu setiap insane mesti tetap menjaga kejujuran, menegakkan kebenaran, menampakkan fakta sebenarnya bila diminta persaksian. Orang yang menyembunyikan kesaksian akan diungkap kesalahannya oleh yang Maha Mengetahui.

5.    Asbabun Nuzul Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kapanya itu akan akan dipelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali, maka ia akan menerima utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerimapun menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi atau penitip tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati kedua pihak.
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan, janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.

6.    Munasabah Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 283 memiliki kaitan dengan sebelumnya, yakni Qur’an surat al-Baqarah ayat 282 bahwa salah satu bentuk utang piutang adalah melakukan transaksi tidak tunai (utang-piutang) yang dilakukan dalam perjalanan. Dalam surat Al-baqarah ayat 282 bahwasannya yang dimaksud utang piutang adalah meminjam atau memberi pinjaman yang merupakan salah satu bentuk kegiatan bermuamlah.
Dalam ayat ini, allah menunjukkan beberapa aturan kepada para hamba-Nya apabila mereka bermuamalat dengan cara utang piutang dan pengembalian dalam jangka waktu tertentu, maka hendaklah menulis perjanjian dengan menghadirkan dua orang saksi yang mampu bersikap adil.
 Dengan demikian, orang yang berpiutang hendaknya diberikan barang tangguhan apabila masing-masing pihak tidak saling percaya. Apabila masing-masing pihak tersebut saling percaya dan menyerahkan diri kepada allah, maka barang tangguhan tersebut tidak diperlukan. Sesengguhnya allah mengetahui segala perbuatan manusia.[2]

B.     Q.S. AN NISSA AYAT 35
1.    Terjemahan Q.S. An Nissa ayat 35
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud untuk mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S. An Nissa: 35)

2.    Kata Kunci Q.S. An Nissa ayat 35
Fab’atsuu        : Maka utuslah atau kirimlah
Hakaman         : Seorang hakam
Min Ahliihii      : Dari keluarganya (laki-laki)
Wahakaman    : Dan seorang hakam
Min Ahliiha      : Dari keluarganya (perempuan)


3.    Penjelasan Q.S. An Nissa ayat 35
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa jika ada suami istri yang takut akan terjadi syiqaq (persengketaan), maka kirimkanlah juru damai (hakam). Dikirim hakan dari keluarga suami dan dari keluarga istri. Kedua hakam tersebut ditugaskan untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi dan sebab-sebabnya, kemudian berusaha mendamaikan suami istri yang berselisih tersebut.
Dalam Q.S. An Nissa ayat 35 ini terdapat kata fab’atsu yang berarti perintah untuk mengutus seseorang. Yang diutus adalah seorang hakam untuk tujuan ishlah dalam persengketaan. Karenanya, ayat ini dapat digunakan sebagai landasan dari hukum wakalah.[3]
Lebih jelasnya, dalam ayat ini, Al-Quran merujuk kepada perselisihan yang terjadi di antara pasangan suami-istri. la mengatakan, Dan jika kamu khawatirkan ada perpecahan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Kemudian, ia mengatakan, ...Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perhaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada suami-istri itu ...  Dan untuk memperingatkan kedua orang hakim tersebut agar menggunakan niat baik dalam tugas mereka, al-Quran menutup ayat ini dengan ucapan bahwa Allah mengetahui niat-niat mereka. Ia mengatakan, ...Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Menyadari.
Kalau ketiga langkah yang diajarkan di atas belum juga berhasil, habis sudah upaya yang dapat dilakukan suami. Ketika itu, sudah sangat sulit membatasi perselisihan mereka terbatas dalam kamar atau rumah. Pastilah ketika itu asap api pertengkaran telah mengepul ke udara. Kepada yang melihat atau mencium atau mengetahui adanya asap itu baik keluarga, maupun penguasa, atau orang-orang yang dipercaya mengurus kesejahteraan rumah tangga :hendaknya mengindahkan tuntunan ayat berikut yaitu:
Jika kamu, wahai orang-orang yang bijak dan bertakwa, khususnya penguasa, khawatir akan terjadinya persengketaan antara keduanya, yakni menjadikan suami dan istri masing-masing mengambil arah yang berbeda dengan arah pasangannya sehingga terjadi perceraian, maka utuslah kepada keduanya seorang hakam juru damai yang bijaksana untuk menyelesaikan kemelut mereka dengan baik. Juru damai itu sebaiknya dari keluarga laki-laki yakni keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga perempuan, yakni keluarga istri, masing-masing mendengar keluhan dan harapan anggota keluarganya. Jika keduanya, yakni suami dan istri atau kedua hakam itu, bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya, yakni suami istri itu. Ini karena ketulusan niat untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga merupakan modal utama menyelesaikan semua problema keluarga. Sesungguhnya Allah sejak dahulu hingga kini dan akan datang Maha Mengetahui segala sesuatu lagi Maha Mengenal sekecil apa pun termasuk detak-detik kalbu suami istri dan para hakam itu.[4]

4.    Kandungan Ayat Q.S. An Nissa ayat 35
Fungsi utama hakam adalah mendamaikan. Tetapi, jika mereka gagal, apakah mereka dapat menetapkan hukum dan harus dipatuhi oleh suami istri yang bersengketa itu? Ada yang mengiyakan dengan alasan Allah menamai mereka hakam dan, dengan demikian, mereka berhak menetapkan hukum sesuai dengan kemashlahatan, baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupun tidak. Pendapat ini dianut oleh sejumlah sahabat Nabi saw., juga kedua imam mazhab Malik dan Ahmad Ibn Hanbal. Sedang Imam Abu Hanifah dan juga Imam Syafi'I menurut satu riwayat tidak memberi wewenang kepada hakam itu. Untuk menceraikan hanya berada di tangan suami, dan tugas mereka hanya mendamaikan, tidak lebih dan tidak kurang.
Pengadilan perdamaian keluarga' yang dirujuk dalam ayat ini merupakan salah satu karya istimewaan al-Quran. Jenis pengadilan ini, jika dibandingkan dengan pengadilan-pengadilan yang biasa, memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh pengadilan-pengadilan lain. Sebagian dari keistimewaan-keistimewaan tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Dalam lingkungan keluarga, penanganan masalah hendak bisa dilakukan secara hukum yang kering menurut aturan-aturan pengadilan yang tak berjiwa. Karena itu, Al-Quran memerintahkan agar kedua hakim dalam pengadilan ini haruslah orang-orang yang memiliki pertalian kerabat dengan pa-sangan yang bersengketa tersebut dan mampu menggerakkan perasaan mereka di sepanjang jalan kerukunan.
b.    Dalam pengadilan biasa, kedua belah pihak yang berperkara harus membukakan rahasia mereka yang miliki agar bisa membela diri mereka. Di sini, adalah pasti bahwa jika salah seorang dari istri atau suami yang bersengketa membukakan rahasia perkawinan mereka kepada orang-orang asing, maka mereka mungkin akan demikian sangat melukai perasaan satu sama lainnya, sehingga jika mereka dipulangkan ke rumah dengan paksa, maka tidak akan ada lagi tanda-tanda ketulusan dan cinta mereka satu kepada yang lain seperti sebelumnya.
c.    Dalam pengadilan biasa, para hakim sering kali tak menaruh perhatian terhadap jalannya perselisihan, sementara dalam pengadilan perdamaian keluarga, para hakimnya biasanya berusaha sebisa-bisanya untuk mengembalikan perdamaian dan ketulusan di antara kedua pasangan suami-istri dan berusaha mengembalikan mereka ke rumah.




5.    Asbabun Nuzul Q.S. An Nissa ayat 35
Hasan menjelaskan bahwa suatu ketika, se­orang wanita mengadu kepada Rasulullah atas perlakuan suaminya yang telah menampar mukanya. Rasulullah bersabda, "Suamimu berhak diqishash (dibalas)." Kemudian, turunlah kedua ayat ini. Wanita itu pun pulang dan tidak jadi menuntut qishash suaminya.

6.    Munasabah Q.S. An Nissa ayat 35
Sehubungan dengan sabda Rasulullah saw itu Allah Swt menurunkan ayat ke 34-35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak menuntut qishas kepada suaminya yang telah menampar mukanya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu waktu datanglah seorang wanita yang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah saw. Ia bercerita bahwa mukanya ditampar oleh suaminya, yang suaminya tersebut adalah salah seorang sahabat anshar. Maksud kedatangan wanita tersebut adalah untuk menuntut balas terhadap perbuatan suaminya itu. Pada saat itu Rasulullah mengabulkan permohonannya, sebab belum ada ketegasan hukum dari Allah Swt. Sehubungan peristiwa tersebut Allah Swt menurunkan ayat ke 34 dan 35 sebagai ketegasan tentang hak kewajiban suami untuk mendidik istrinya yang membangkang. Selain itu turun juga ayat ke-114 dari surat thaha yang artinya:
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
Ayat ini turun sebagai teguran terhadap Rasulullah Saw. Beliau dilarang memutus suatu perkara sebelum ayat Alquran diturunkan, sebagaimana yang beliau lakukan memeberi hukum qishas terhadap suami atas gugatan istri tersebut. (H.R ibnu Jarir). [5]


C.    Q.S. AN NISSA AYAT 58
1.    Terjemahan Q.S. An Nissa ayat 58
“Sesungguhnya Allah  menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. An Nissa: 58)

2.    Kata Kunci Q.S. An Nissa ayat 58
An tu’addu       : Untuk menyampaikan
Al-amanati       : Amanat
Ila ahliha         : Kepada yang berhak menerimanya

3.    Penjelasan Q.S. An Nissa ayat 58
Pada ayat ini Allah memerintahkan supaya menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah SAW memasuki kota makkah pada hari ditaklukannya. Utsman bin Thalhah pengurus ka’bah pada saat tidak mau memberikan kunci ka’bah kepada Rasulullah SAW. Kemudian Ali bin Abi Thalib merebut kunci itu dari Utsman bin Thalhah secara paksa dan membuka ka’bah. Lalu Rasulullah SAW masuk ke dalamnya dan solat dua rakaat. Setelah Beliau keluar dari ka’bah bertemu dengan paman Beliau Abbas. Paman Beliau meminta kunci sekaligus jabatan pemelihara ka’bah dan jabatan penyediaan air untuk jama’ah haji. Karena itu, turunlah Q.S. An Nissa ayat 58 ini kemudian Rasulullah SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib mengembalikan kunci ka’bah kepada Utsman bin Thalhah dan meminta maaf.
Pengertian memberikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya merupakan langkah awal dalam upaya menjaga amanat tersebut, “ya’murukum an ta’addul-amanati ila ahliha.” Selanjutnya apabila dalam pengambilan keputusan mesti ditetapkan dengan adil. Termasuk tentang siapa yang akan diberikan amanah harus ditentukan dengan adil, “wa idzaa hakamtu bainannasi an tahukumu bil adli.” Keadilan yang berpihak pada kebenaran yang objektif tentang siapa yang benar-benar berhak menerima suatu amanah. Salah satu cara dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain dalam pelaksanaan hukum. Semua cara ini merupakan pelajaran langsung dari Allah karena sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pelajaran, “innallaha ni’imma ya’izhukum bihi.”

4.    Kandungan Ayat Q.S. An Nissa ayat 58
Dalam ayat ini dijelaskan yang paling menonjol dalam beramal adalah menyampaikan Amanat dan menetapkan perkara di antara manusia dengan cara yang Adil. Allah memerintahkan kedua amal tersebut. Khusus untuk ayat ini para mufasir banyak yang mengaitkannya dengan masalah pemerintahan atau urusan Negara. Orang yang diberi amanah kekuasaan, haruslah yang ahli di bidangnya. Jika bukan ahlinya kekuasaan yang dikelola tersebut akan mengalami kehancuran. Oleh karena itu, apabila seseorang telah diserahi amanat tertentu, ia harus melaksanakan amanat tersebut dengan Adil. Hal ini penting karena diri kita pasti akan berhadapan dengan Masyarakat dari berbagai kelompok yang beragam. Selanjutnya banyak ayat yang memerintahkan supaya kita menegakkan keadilan.
Sikap adil dalam masyarakat dapat diwujudkan dengan bertanggung jawab dan jujur terhadap tugas masing masing. Sebagai contoh seorang guru bertugas mengajar, murid diharuskan belajar, polisi berkewajiban memberi jaminan keamanan, hakim bertanggung jawab dalam menetapkan keadilan begitu juga profesi yang lainnya. Jika keadilan dilanggar akan terjadi ketidakseimbangan dalam pergaulan hidup. Salah satu pihak diuntungkan, sementara ada pihak lain yang harus menanggung kesengsaraan. Kemudian Allah menerangkan kebaikan keadilan dan penyampaian amanat, yaitu sebaik baik sesuatu yang dinasehatkan kepada kalian adalah menyampaikan amanat dan memutuskan perkara dengan adil diantara manusia. Kemudian kita wajib menjalankan segala yang diperintahkan dan dinasehatkam Allah. Karena dia lebih mengetahui dari pada manusia tentang segala yang terdengar dan terlihat, karena sesumgguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.

5.    Asbabun Nuzul Q.S. An Nissa ayat 58
Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari Al-Kalbi dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas: bahwa setelah Fathu Makkah (pembebasan Mekah) Rasulullah Saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci Ka’bah, Ketika Utsman datang menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah, demi Allah serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan)”. Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai Utsman!” Utsman berkata: “Inilah dia, amanat dari Allah”, maka berdirilah Rasulullah membuka Ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di Baitullah. Turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 58).
Diriwayatkan oleh Syu’bah di dalam tafsirnya dari Hajaj yang bersumber dari Ibnu Juraij: bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 58) berkenaan dengan Utsman bin Thalhah. Ketika itu Rasulullah Saw mengambil kunci Ka’bah darinya pada waktu Fathu Makkah. Dengan kunci itu Rasulullah masuk Ka’bah. Di waktu keluar dari ka’bah beliau membaca ayat ini (An-Nisa ayat 58). Kemudian beliau memanggil Utsman untuk menyerahkan kembali kunci itu. Menurut Umar bin Khattab kenyataannya ayat ini (An-Nisa ayat 58) turun di dalam ka’bah, karena pada waktu itu Rasulullah keluar dari ka’bah, membawa ayat itu, dan ia bersumpah bahwa sebelumnya belum pernah mendengar ayat itu.




6.    Munasabah Q.S. An Nissa ayat 58
Orang yang adil adalah orang yang sesuai dengan standar hukum baik hukum agama, hukum positif (hukum negara), maupun hukum sosial (hukum adat) yang berlaku. orang yang adil selalu bersikap imparsial, suatu sikap yang tidak memihak kecuali kepada kebenaran. Bukan berpihak karena pertemanan, persamaan suku, bangsa maupun agama. Hal ini didasarkan dengan firman Allah yang artinya; “...dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...”.(QS. Al-Maidah ayat 8). [6]












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Farihanun Maqbudhatun memberikan landasan bagi pelaksanaan pemberian borg atas transaksi diperjalanan secara tidak tunai. Penyerahan borg semata-mata sebagai wujud prinsip kehatian-hatian. Keberlakuan ini juga tetap disertai dengan sikap moral dapat di percaya dan pemenuhsn prinsip daatb di pertanggungjawabkan.
Berdasarkan pada pembahasan tersebut, nash telah memperbolehkan pelaksanaan wakalah. Terutama dalam ekonomi Islam, wakalah merupakan salah satu bentuk perilaku tolong menolong dengan dasar kepercayaan dalam melancarkan berbagai aktivitas ekonomi baik di sektor riil maupun keuangan.
Al-Qur’an sangat menekankan untuk menjaga amanat karena bagian dari sifat seorang mukmin. Sebaliknya, mengkhianati amanat merupakan sifat orang munafik. Amanat diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Dijelaskan pula bahwa menjaga amanat dapat menghilangkan sifat kikir dan keluh kesah. Penjaga amanat akan menjadi orang yang beruntung, “qad aflahal mu’minuna”.






DAFTAR PUSTAKA
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cetakan I
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati,2000, cetakan 11




[1] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cetakan I, halaman 241-243
[2] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati,2000, cetakan 11,halaman 72
[3] Dwi Suwiknyo, Ibid, halaman 303-305
[5] M.Quraish Shihab, Ibid, halaman 521-522