BAB
I
PENDAHULUAN
A. Q.S. Al-Baqarah Ayat
283
B. Q.S. An Nissa Ayat 35
C. Q.S. An Nissa Ayat 58
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Q.S.
AL-BAQARAH AYAT 283
1.
Terjemahan
Q.S. Al-Baqarah ayat 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis,
maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Tetapi,
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya. Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 283)
2.
Kata
Kunci Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Farihaanun : Maka (ada) barang jaminan
Maqbuudhatun : Yang dipegang
Amina :
Mempercayai
3.
Penjelasan
Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Ayat ini menrangkan transaksi tidak tunai yang
dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang juru tulis (kaatibaan) yang menuliskannya, maka
hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang oleh yang berpiutang, “Farihaanun Maqbuudhatun”. Barang
tanggungan itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya memercayai juga
sebagai pemenuhan prinsip kehati-hatian. Kecuali masing-masing pihak saling
percaya dan menyerahkan diri kepada Allah maka transaksi itu boleh dilakukan
tanpa adanya borg karena yang berhutang akan membayar.
Ayat
ini tidaklah menetapkan bahwa borg itu hanya boleh dilakukan dengan syarat
dalam perjalanan, transaksi tidak tunai dan tidak ada juru tulis, namun ayat
ini menyatakan bahwa dalam keadaan tersebut dibenarkan untuk memakai borg.
Misalnya, dalam keadaan transaksi lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Annas ra., ia berkata, “Rasullullah
saw. Menggadaikan baju besi kepada orang yahudi di Madinah dan beliau mengambil
darinya gandum untuk keluarga beliau”. Sebenarnya kunci dari transaksi yang
dijelaskan oleh ayat ini secara moral yaitu adanya kepercayaan antar pihak yang
melakukan transaksi sehinggaa bisa disebut sebagai bisnis kepercayaan “Amina Ba’dhukum Ba’dhan.” Sedangkan
pemberlakuan borg menjadi simbol nyata dari kepercayaan sehingga dapat saling
memenuhi kewajiban antar pihak.[1]
4.
Kandungan
Ayat Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Setiap transaksi yang mengandung perjanjian
penangguhan seharusnya ada bukti tertulis. Namun jika tidak memungkinkan
perjanjian tertulis, maka hendaklah ada yang menjadi saksi. Jika ternyata tidak
ada saksi, tidak pula bukti tulisan, maka dipersilakan adanya jaminan.
Prisnsip mu’amalat adalah saling percaya dan menjaga
kepercayaan semua fihak. Untuk menghilangkan keraguan maka hendakla diadakan
perjanjian secara tertulis atau jaminan. Namun kalau semuanya saling
mempercayai, atau dalam transaksi tunai yang tidak akan menimbulkan masalah di
kemudian hari, tidak mengapa tanpa tulisan atau jaminan aslakan tetap menjaga
amanah.
Orang yang mengetahui fakta kebenaran mesti bersedia
menjadi saksi. Bersaksi dalam kebenaran, merupkan ibadah. Sebaliknya yang
menyembunyikan kesaksian, terancam siksa. Sedangkan bersaksi palsu termasuk
dosa besar.Taqwa mencakup segala aspek kehidupan. Oleh karena itu dalam jual
beli, utang piutang, atau mu’amalat lainnya mesti didasari taqwa.
Taqwa juga mesti dimanifestasikan dalam menjaga
amanah, kepercayaan, kejujuran dan menjauhi hal-hal yang merugikan fihak
manapun. Allah SWT maha mengetahui segalanya. Oleh karena itu setiap insane
mesti tetap menjaga kejujuran, menegakkan kebenaran, menampakkan fakta
sebenarnya bila diminta persaksian. Orang yang menyembunyikan kesaksian akan
diungkap kesalahannya oleh yang Maha Mengetahui.
5.
Asbabun
Nuzul Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap
yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kapanya
itu akan akan dipelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintanya
kembali, maka ia akan menerima utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari
yang dititipi. Yang menerimapun menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi
bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi
atau penitip tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati
kedua pihak.
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan, janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan, janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.
6.
Munasabah
Q.S. Al-Baqarah ayat 283
Pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 283 memiliki kaitan
dengan sebelumnya, yakni Qur’an surat al-Baqarah ayat 282 bahwa salah satu
bentuk utang piutang adalah melakukan transaksi tidak tunai (utang-piutang)
yang dilakukan dalam perjalanan. Dalam surat Al-baqarah ayat 282 bahwasannya
yang dimaksud utang piutang adalah meminjam atau memberi pinjaman yang
merupakan salah satu bentuk kegiatan bermuamlah.
Dalam ayat ini, allah menunjukkan beberapa aturan
kepada para hamba-Nya apabila mereka bermuamalat dengan cara utang piutang dan
pengembalian dalam jangka waktu tertentu, maka hendaklah menulis perjanjian
dengan menghadirkan dua orang saksi yang mampu bersikap adil.
Dengan
demikian, orang yang berpiutang hendaknya diberikan barang tangguhan apabila
masing-masing pihak tidak saling percaya. Apabila masing-masing pihak tersebut
saling percaya dan menyerahkan diri kepada allah, maka barang tangguhan
tersebut tidak diperlukan. Sesengguhnya allah mengetahui segala perbuatan
manusia.[2]
B.
Q.S.
AN NISSA AYAT 35
1.
Terjemahan
Q.S. An Nissa ayat 35
“Dan
jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah
seorang hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud untuk mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S. An Nissa:
35)
2.
Kata
Kunci Q.S. An Nissa ayat 35
Fab’atsuu : Maka utuslah atau
kirimlah
Hakaman : Seorang hakam
Min
Ahliihii : Dari
keluarganya (laki-laki)
Wahakaman : Dan seorang hakam
Min
Ahliiha : Dari
keluarganya (perempuan)
3.
Penjelasan
Q.S. An Nissa ayat 35
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa jika ada suami
istri yang takut akan terjadi syiqaq (persengketaan), maka kirimkanlah juru
damai (hakam). Dikirim hakan dari keluarga suami dan dari keluarga istri. Kedua
hakam tersebut ditugaskan untuk mengetahui persoalan perselisihan yang terjadi
dan sebab-sebabnya, kemudian berusaha mendamaikan suami istri yang berselisih
tersebut.
Dalam Q.S. An Nissa ayat 35 ini terdapat kata
fab’atsu yang berarti perintah untuk mengutus seseorang. Yang diutus adalah
seorang hakam untuk tujuan ishlah dalam persengketaan. Karenanya, ayat ini
dapat digunakan sebagai landasan dari hukum wakalah.[3]
Lebih
jelasnya, dalam ayat ini, Al-Quran merujuk kepada perselisihan yang terjadi di
antara pasangan suami-istri. la mengatakan, Dan jika kamu khawatirkan ada
perpecahan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki
dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Kemudian, ia mengatakan, ...Jika
kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perhaikan, niscaya Allah memberikan
taufik kepada suami-istri itu ...
Dan untuk memperingatkan kedua orang hakim tersebut agar menggunakan
niat baik dalam tugas mereka, al-Quran menutup ayat ini dengan ucapan bahwa
Allah mengetahui niat-niat mereka. Ia mengatakan, ...Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Menyadari.
Kalau
ketiga langkah yang diajarkan di atas belum juga berhasil, habis sudah upaya
yang dapat dilakukan suami. Ketika itu, sudah sangat sulit membatasi
perselisihan mereka terbatas dalam kamar atau rumah. Pastilah ketika itu asap
api pertengkaran telah mengepul ke udara. Kepada yang melihat atau mencium atau
mengetahui adanya asap itu baik keluarga, maupun penguasa, atau orang-orang
yang dipercaya mengurus kesejahteraan rumah tangga :hendaknya
mengindahkan tuntunan ayat berikut yaitu:
Jika
kamu, wahai orang-orang yang bijak dan bertakwa, khususnya penguasa, khawatir
akan terjadinya persengketaan antara keduanya, yakni menjadikan suami dan istri
masing-masing mengambil arah yang berbeda dengan arah pasangannya sehingga
terjadi perceraian, maka utuslah kepada keduanya seorang hakam juru damai yang
bijaksana untuk menyelesaikan kemelut mereka dengan baik. Juru damai itu
sebaiknya dari keluarga laki-laki yakni keluarga suami dan seorang hakam dari
keluarga perempuan, yakni keluarga istri, masing-masing mendengar keluhan dan
harapan anggota keluarganya. Jika keduanya, yakni suami dan istri atau kedua
hakam itu, bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
keduanya, yakni suami istri itu. Ini karena ketulusan niat untuk mempertahankan
kehidupan rumah tangga merupakan modal utama menyelesaikan semua problema
keluarga. Sesungguhnya Allah sejak dahulu hingga kini dan akan datang Maha
Mengetahui segala sesuatu lagi Maha Mengenal sekecil apa pun termasuk
detak-detik kalbu suami istri dan para hakam itu.[4]
4.
Kandungan
Ayat Q.S. An Nissa ayat 35
Fungsi
utama hakam adalah mendamaikan. Tetapi, jika mereka gagal, apakah mereka
dapat menetapkan hukum dan harus dipatuhi oleh suami istri
yang bersengketa itu? Ada yang mengiyakan dengan alasan Allah menamai mereka hakam dan, dengan demikian, mereka berhak
menetapkan hukum sesuai dengan kemashlahatan,
baik disetujui oleh pasangan yang bertikai maupun
tidak. Pendapat ini dianut oleh sejumlah sahabat Nabi saw., juga kedua imam mazhab Malik dan Ahmad Ibn Hanbal. Sedang Imam
Abu Hanifah dan juga Imam Syafi'I menurut satu
riwayat tidak memberi wewenang kepada hakam
itu. Untuk menceraikan hanya berada di tangan suami,
dan tugas mereka hanya mendamaikan, tidak lebih dan tidak kurang.
Pengadilan
perdamaian keluarga' yang dirujuk dalam ayat ini merupakan salah satu karya
istimewaan al-Quran. Jenis pengadilan ini, jika dibandingkan dengan
pengadilan-pengadilan yang biasa, memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh pengadilan-pengadilan lain. Sebagian dari keistimewaan-keistimewaan
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dalam lingkungan
keluarga, penanganan masalah hendak bisa dilakukan secara hukum yang kering
menurut aturan-aturan pengadilan yang tak berjiwa. Karena itu, Al-Quran
memerintahkan agar kedua hakim dalam pengadilan ini haruslah orang-orang yang
memiliki pertalian kerabat dengan pa-sangan yang bersengketa tersebut dan mampu
menggerakkan perasaan mereka di sepanjang jalan kerukunan.
b. Dalam pengadilan biasa,
kedua belah pihak yang berperkara harus membukakan rahasia mereka yang miliki
agar bisa membela diri mereka. Di sini, adalah pasti bahwa jika salah seorang
dari istri atau suami yang bersengketa membukakan rahasia perkawinan mereka
kepada orang-orang asing, maka mereka mungkin akan demikian sangat melukai perasaan
satu sama lainnya, sehingga jika mereka dipulangkan ke rumah dengan paksa, maka
tidak akan ada lagi tanda-tanda ketulusan dan cinta mereka satu kepada yang
lain seperti sebelumnya.
c. Dalam pengadilan biasa,
para hakim sering kali tak menaruh perhatian terhadap jalannya perselisihan,
sementara dalam pengadilan perdamaian keluarga, para hakimnya biasanya berusaha
sebisa-bisanya untuk mengembalikan perdamaian dan ketulusan di antara kedua
pasangan suami-istri dan berusaha mengembalikan mereka ke rumah.
5.
Asbabun
Nuzul Q.S. An Nissa ayat 35
Hasan menjelaskan bahwa suatu ketika, seorang wanita
mengadu kepada Rasulullah atas
perlakuan suaminya yang telah menampar mukanya. Rasulullah bersabda,
"Suamimu berhak diqishash (dibalas)." Kemudian, turunlah kedua ayat ini.
Wanita itu pun pulang
dan tidak jadi menuntut qishash suaminya.
6.
Munasabah
Q.S. An Nissa ayat 35
Sehubungan dengan sabda Rasulullah saw itu Allah Swt menurunkan ayat ke
34-35 yang dengan tegas memberikan ketentuan, bahwa bagi orang laki-laki ada
hak untuk mendidik istrinya yang melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku
istri. Setelah mendengar keterangan ayat ini wanita itu pulang dengan tidak
menuntut qishas kepada suaminya yang telah menampar mukanya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu waktu datanglah seorang wanita
yang mengadukan masalahnya kepada Rasulullah saw. Ia bercerita bahwa mukanya
ditampar oleh suaminya, yang suaminya tersebut adalah salah seorang sahabat
anshar. Maksud kedatangan wanita tersebut adalah untuk menuntut balas terhadap
perbuatan suaminya itu. Pada saat itu Rasulullah mengabulkan permohonannya, sebab belum ada
ketegasan hukum dari Allah Swt. Sehubungan peristiwa tersebut Allah Swt
menurunkan ayat ke 34 dan 35 sebagai ketegasan tentang hak kewajiban suami
untuk mendidik istrinya yang membangkang. Selain itu turun juga ayat ke-114
dari surat thaha yang artinya:
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya,
dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan
mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku
ilmu pengetahuan."
Ayat ini turun
sebagai teguran terhadap Rasulullah Saw. Beliau dilarang memutus suatu perkara
sebelum ayat Alquran diturunkan, sebagaimana yang beliau lakukan memeberi hukum
qishas terhadap suami atas gugatan istri tersebut. (H.R ibnu Jarir). [5]
C.
Q.S.
AN NISSA AYAT 58
1.
Terjemahan
Q.S. An Nissa ayat 58
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S. An Nissa: 58)
2.
Kata
Kunci Q.S. An Nissa ayat 58
An
tu’addu : Untuk
menyampaikan
Al-amanati : Amanat
Ila
ahliha :
Kepada yang berhak menerimanya
3.
Penjelasan
Q.S. An Nissa ayat 58
Pada ayat ini Allah memerintahkan supaya
menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya. Diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah SAW memasuki kota makkah pada hari ditaklukannya.
Utsman bin Thalhah pengurus ka’bah pada saat tidak mau memberikan kunci ka’bah
kepada Rasulullah SAW. Kemudian Ali bin Abi Thalib merebut kunci itu dari
Utsman bin Thalhah secara paksa dan membuka ka’bah. Lalu Rasulullah SAW masuk
ke dalamnya dan solat dua rakaat. Setelah Beliau keluar dari ka’bah bertemu
dengan paman Beliau Abbas. Paman Beliau meminta kunci sekaligus jabatan
pemelihara ka’bah dan jabatan penyediaan air untuk jama’ah haji. Karena itu,
turunlah Q.S. An Nissa ayat 58 ini kemudian Rasulullah SAW memerintahkan Ali
bin Abi Thalib mengembalikan kunci ka’bah kepada Utsman bin Thalhah dan meminta
maaf.
Pengertian memberikan amanat kepada orang yang
berhak menerimanya merupakan langkah awal dalam upaya menjaga amanat tersebut, “ya’murukum an ta’addul-amanati ila ahliha.”
Selanjutnya apabila dalam pengambilan keputusan mesti ditetapkan dengan adil.
Termasuk tentang siapa yang akan diberikan amanah harus ditentukan dengan adil,
“wa idzaa hakamtu bainannasi an tahukumu
bil adli.” Keadilan yang berpihak pada kebenaran yang objektif tentang
siapa yang benar-benar berhak menerima suatu amanah. Salah satu cara dengan
tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain dalam pelaksanaan hukum.
Semua cara ini merupakan pelajaran langsung dari Allah karena sesungguhnya
Allah sebaik-baik yang memberi pelajaran, “innallaha
ni’imma ya’izhukum bihi.”
4.
Kandungan
Ayat Q.S. An Nissa ayat 58
Dalam ayat ini dijelaskan yang paling menonjol dalam
beramal adalah menyampaikan Amanat dan menetapkan perkara di antara manusia
dengan cara yang Adil. Allah memerintahkan kedua amal tersebut. Khusus untuk
ayat ini para mufasir banyak yang mengaitkannya dengan masalah pemerintahan
atau urusan Negara. Orang yang diberi amanah kekuasaan, haruslah yang ahli di
bidangnya. Jika bukan ahlinya kekuasaan yang dikelola tersebut akan mengalami
kehancuran. Oleh karena itu, apabila seseorang telah diserahi amanat tertentu,
ia harus melaksanakan amanat tersebut dengan Adil. Hal ini penting karena diri
kita pasti akan berhadapan dengan Masyarakat dari berbagai kelompok yang
beragam. Selanjutnya banyak ayat yang memerintahkan supaya kita menegakkan
keadilan.
Sikap adil dalam masyarakat dapat diwujudkan dengan
bertanggung jawab dan jujur terhadap tugas masing masing. Sebagai contoh
seorang guru bertugas mengajar, murid diharuskan belajar, polisi berkewajiban
memberi jaminan keamanan, hakim bertanggung jawab dalam menetapkan keadilan
begitu juga profesi yang lainnya. Jika keadilan dilanggar akan terjadi
ketidakseimbangan dalam pergaulan hidup. Salah satu pihak diuntungkan,
sementara ada pihak lain yang harus menanggung kesengsaraan. Kemudian Allah
menerangkan kebaikan keadilan dan penyampaian amanat, yaitu sebaik baik sesuatu
yang dinasehatkan kepada kalian adalah menyampaikan amanat dan memutuskan
perkara dengan adil diantara manusia. Kemudian kita wajib menjalankan segala
yang diperintahkan dan dinasehatkam Allah. Karena dia lebih mengetahui dari
pada manusia tentang segala yang terdengar dan terlihat, karena sesumgguhnya
Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
5.
Asbabun
Nuzul Q.S. An Nissa ayat 58
Diriwayatkan
oleh Ibnu Marduwaih dari Al-Kalbi dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu
Abbas: bahwa setelah Fathu Makkah (pembebasan Mekah) Rasulullah Saw memanggil
Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci Ka’bah, Ketika Utsman datang menghadap
Nabi untuk menyerahkan kunci, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah, demi
Allah serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan
jabatan siqayah (urusan pengairan)”. Utsman menarik kembali tangannya. Maka
bersabdalah Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai Utsman!” Utsman
berkata: “Inilah dia, amanat dari Allah”, maka berdirilah Rasulullah membuka
Ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di Baitullah. Turunlah Jibril membawa
perintah supaya kunci itu diserahkan kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan
perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas (An-Nisa ayat 58).
Diriwayatkan
oleh Syu’bah di dalam tafsirnya dari Hajaj yang bersumber dari Ibnu Juraij:
bahwa turunnya ayat ini (An-Nisa ayat 58) berkenaan dengan Utsman bin Thalhah.
Ketika itu Rasulullah Saw mengambil kunci Ka’bah darinya pada waktu Fathu
Makkah. Dengan kunci itu Rasulullah masuk Ka’bah. Di waktu keluar dari ka’bah
beliau membaca ayat ini (An-Nisa ayat 58). Kemudian beliau memanggil Utsman
untuk menyerahkan kembali kunci itu. Menurut Umar bin Khattab kenyataannya ayat
ini (An-Nisa ayat 58) turun di dalam ka’bah, karena pada waktu itu Rasulullah
keluar dari ka’bah, membawa ayat itu, dan ia bersumpah bahwa sebelumnya belum
pernah mendengar ayat itu.
6.
Munasabah
Q.S. An Nissa ayat 58
Orang yang adil adalah orang yang sesuai dengan
standar hukum baik hukum agama, hukum positif (hukum negara), maupun hukum
sosial (hukum adat) yang berlaku. orang yang adil selalu bersikap imparsial,
suatu sikap yang tidak memihak kecuali kepada kebenaran. Bukan berpihak karena
pertemanan, persamaan suku, bangsa maupun agama. Hal ini didasarkan dengan
firman Allah yang artinya; “...dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...”.(QS.
Al-Maidah ayat 8). [6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Farihanun Maqbudhatun
memberikan landasan bagi pelaksanaan pemberian borg atas transaksi diperjalanan
secara tidak tunai. Penyerahan borg semata-mata sebagai wujud prinsip
kehatian-hatian. Keberlakuan ini juga tetap disertai dengan sikap moral dapat
di percaya dan pemenuhsn prinsip daatb di pertanggungjawabkan.
Berdasarkan
pada pembahasan tersebut, nash telah memperbolehkan pelaksanaan wakalah.
Terutama dalam ekonomi Islam, wakalah merupakan salah satu bentuk perilaku
tolong menolong dengan dasar kepercayaan dalam melancarkan berbagai aktivitas
ekonomi baik di sektor riil maupun keuangan.
Al-Qur’an
sangat menekankan untuk menjaga amanat karena bagian dari sifat seorang mukmin.
Sebaliknya, mengkhianati amanat merupakan sifat orang munafik. Amanat diberikan
kepada orang yang berhak menerimanya. Dijelaskan pula bahwa menjaga amanat
dapat menghilangkan sifat kikir dan keluh kesah. Penjaga amanat akan menjadi
orang yang beruntung, “qad aflahal
mu’minuna”.
DAFTAR
PUSTAKA
Dwi
Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat
Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cetakan I
M.Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati,2000, cetakan 11
http://fauzurr.blogspot.co.id/2012/10/tafsir-surah-annisa-ayat-35.html,
diakses pada 16 Oktober 2015
http://arief-al-hafids.heck.in/isi-kandungan-q-s-an-nisa-ayat-58.xhtml,
diakses pada 16 Oktober 2015
[1]
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat
Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, Cetakan I, halaman
241-243
[2]
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta:Lentera Hati,2000, cetakan
11,halaman 72
[3]
Dwi Suwiknyo, Ibid, halaman 303-305
[4] http://fauzurr.blogspot.co.id/2012/10/tafsir-surah-annisa-ayat-35.html,
diakses pada 16 Oktober 2015
[5]
M.Quraish Shihab, Ibid, halaman
521-522
[6] http://arief-al-hafids.heck.in/isi-kandungan-q-s-an-nisa-ayat-58.xhtml,
diakses pada 16 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar