Kamis, 31 Desember 2015



 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Keuangan Syari’ah
Menurut Ibrahim Warde, Keuangan Islam adalah lembaga keuangan milik umat Islam, melayani umat Islam, ada dewan syari’ah, merupakan anggota organisasi internasional bank Islam (IAIB) dan sebagainya. Lebih luas, keuangan Islam meliputi tidak hanya persoalan perbankan, tetapi juga meliputi kerjasama saling membiayai, keamanan dan asuransi perusahaan.
Menurut Imam Sugema dalam Understanding Sharia, keuangan syari’ah dengan prinsipnya adalah yang tidak mengenal riba’ bahkan melarangnya ada dalam keuangan Islam.[1] Struktur keuangan Islam sangat kuat dan bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta penafsiran terhadap sumber-sumber wahyu ini oleh para ulama.
1.      Sistem Keuangan Syari’ah
Sistem keuangan syari’ah merupakan sistem keuangan yang menjembatani antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang memiliki kelebihan dana melalui produk dan jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip-prisip syari’ah. Seluruh transaksi yang terjadi dalam kegiatan keuangan syari’ah harus dilaksanakan berdasarkan prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah adalah prinsip yang didasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam konteks Indonesia, prinsip syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan dan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syari’ah.[2]
Sistem keuangan syariah didasari oleh dua prinsip utama, yaitu Prinsip Syar’i dan Prinsip Tabi’i. Prinsip-prinsip Syar’i dalam system keuangan syari’ah adalah sebagai berikut :
a.       Kebebasan bertransaksi, namunn harus didasari prinsip suka sama suka dan tidak ada pihak yang didzalimi dengan didasari oleh akad yang sah. Disamping itu, transaksi tidak boleh dilakukan pada produk-produk yang haram.
b.      Bebas dari maghrib (maysir; yaitu judi, gharar; yaitu ketidakpastian/ penipuan dan riba, yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil (tidak sah)).
c.       Bebas dari upaya mengendalikan,merekayasa dan memanipulasi harga.
d.      Semua orang berhak mendapatkan informasi yang berimbang, memadai, dan akurat agar bebas dari ketidaktahuan dalam bertransaksi.
e.       Pihak-pihak yang bertransaksi harus mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga yang mungkin dapat terganggu, oleh karenanya pihak ketiga diberikan hak atau pilihan.
f.       Transaksi didasarkan pada kerja sama yang saling menguntungkan dan solidaritas (persaudaraan dan saling membantu).
g.      Setiap transaksi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.
h.      Mengimplementasikan zakat.
Sedangkan, prinsip-prinsip tabi’i adalah prinsip-prinsip yang dihasilkan melalui interpretasi akal dan ilmu pengetahuan dalam menjalankan bisnis seperti manajemen permodalan, dasar dan analisis teknis, manajemen cash flow, manajemen risiko dan lainnya.
Dengan demikian,sistem keuangan syari’ah diformulasikan dari kombinasi dua kekuatan sekaligus, pertama prinsip-prinsip syar’i yang diambil dari Al-Quran dan Sunnah, dan kedua prinsip-prinsip tabi’i yang merupakan hasil interpretasi akal manusia dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi seperti manajemen, keuangan bisnis dan prinsip-prinsip ekonomi lainnya yang relevan.[3]
Sistem keuangan syari’ah merupakan aliran sistem keuangan yang didasarkan pada etika Islam. Sistem keuangan syari’ah tidak sekedar memperhitungkan aspek return (keuntungan) dan risiko, namun juga ikut mempertimbangkan nilai-nilai Islam di dalamnya.[4]
2.      Fungsi  Sistem Keuangan Syariah
a.    Memobilisasi tabungan, sistem keuangan syari’ah dapat mencipta- kan berbagai instrument yang dapat digunakan untuk memobilisasi dana dalam jumlah kecil tetapi banyak. Karakteristik pertama sistem keuangan syari’ah adalah kredibelitas yang memainkan peran penting. Sistem keuangan yang kredibel akan mampu mengumpulkan dana masyarakat dengan biaya yang rendah.


b.    Mengalokasikan sumber daya, sistem keuangan syari’ah dapat berperan sebagai pengumpul informasi mengenai peluang-peluang investasi secara lebih efisien sehingga membantu memperbaiki alokasi sumber daya. Karakteristik kedua dari sistem keuangan syari’ah yang berfungsi dengan baik adalah kemampuan mengumpulkan, mengolah, dan menerjemahkan informasi menjadi alat pengambil keputusan investasi yang terlihat pada pergerakan harga instrument keuangan yang mencerminkan kondisi fundamental.
c.    Memantau para manajer dan melaksanakan pengawasan perusahaan, sistem keuangan syari’ah dapat berperan dalam melakukan kegiatan monitoring dan verifikasi tersebut sehingga berdampak positif pada perkembangan investasi dan efisiensi ekonomi. Karakteristik ketiga, sistem keuangan syari’ah yang berfungsi dengan baik, yaitu rendahnya kasus-kasus penyelewengan oleh manajemen perusahaan-perusahaan public atau perusahaan-perusahaan yang mendapatkan dana melalui lembaga intermediasi.
d.   Memfasilitasi perdagangan, lindung nilai, diversifikasi, dan penggabungan risiko, karakteristik keempat dari sistem keuangan yang berfungsi dengan baik adalah kemampuan mendiversifikasi- kan risiko dengan baik.
e.    Memfasilitasi transaksi barang dan jasa agar lebih efisien, karakteristik kelima dari sistem keuangan syari’ah yang berfungsi baik adalah adanya mekanisme transaksi keuangan yang cepat, aman dan biaya rendah.[5]
3.      Karakteristik Sistem Keuangan Syari’ah
Ada beberapa karakteristik keuangan Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mausu’ah Al-Ilmiyah wa Al-Amaliyah Al-Islamiyah yakni sebagai berikut:
a.       Harta kepunyaan Allah dan manusia merupakan khalifah atas harta. Karakteristik ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a)      Semua harta, baik benda maupun alat produksi adalah milik Allah (kepunyaan Allah), Allah berfirman dalam QS. Al- Baqarah ayat 284 : “Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
b)      Manusia adalah khalifah atas harta miliknya, yang kemudian diterangkan dalam QS. Al-Hadid ayat 7 : “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infaqkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menginfaqkan (hartanya dijalan Allah) memperoleh pahala yang besar”.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut terlihat jelas perbedaan antara sistem kepemilikan dalam sistem ekonomi keuangan Islam dan sistem ekonomi lainnya. Dalam sistem Islam kepemilikan pribadi, walaupun hakekatnya tidak mutlak dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
b.      Keuangan terikat dengan aqidah, syari’ah (hukum) dan moral.
Hubungan keuangan Islam dengan aqidah dan syari’ah sangatlah nampak dalam banyak hal. Hubungan tersebut menjadikan kegiatan ekonomi dalam Islam menjadi sebuah rangkaian ibadah.
Sedangkan, untuk hubungan antara keuangan syari’ah dengan moral, dapat dilihat dari larangan Nabi dalam penggunaan harta milik yang dapat menimbulkan kerugian kepada orang lain dan kepentingan masyarakat, larangan melakukan penipuan dalam transaksi, serta larangan menimbun harta yang dapat menimbulkan kelangkaan barang dan menghambat peredaran uang yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
c.       Keseimbangan antara kerohanian dan kebendaan.
d.      Ekonomi Islam menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum.
e.       Kebebasan individu dijamin dalam Islam.
f.       Negara diberi wewenang untuk turut campur dalam perekonomian Islam.
g.      Bimbingan konsumsi. Segala sesuatu telah diatur dalam Islam, termasuk dalam pemakaian atau konsumsi terhadap barang produksi dimana Allah telah melarang manusia untuk berlebih- lebihan dan bermewah-mewahan serta bersikap angkuh yang bertentangan dengan prinsip kesederhanaan dalam Islam.
h.      Petunjuk investasi. Dalam Islam ada lima criteria yang dijadikan pedoman dalm proyek investasi, yaitu:
a)      Proyek yang baik menurut Islam,
b)      Memberikan rezeki seluas mungkin kepada masyarakat luas,
c)      Memberantas kefakiran, memperbaiki pendapatan serta keuangan dan kekayaan,
d)     Memelihara dan dapat menumbuhkembangkan harta,
e)      Melindungi kepentingan anggota masyarakat.
i.        Zakat. Zakat merupakan karakteristik yang sangat menonjol dalam sistem ekonomi dan keuangan Islam yang tidak terdapat dalam sistem ekonomi dan keuangan lainnya, dimana seseorang dituntut untuk menyisihkan dan mengeluarkan sebagian dari hartanya bagi saudaranya yang lebih membutuhkan sebagai sarana pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki ataupun dendam.
j.        Larangan riba’. Dalam penggunaannya uang harus sesuai dengan fungsi normalnya yaitu sebagai alat transaksi dan alat penilaian barang. Sedangkan, riba’ adalah salah satu penyelewengan uang dari fungsi normalnya oleh karena itu hal ini sangat dilarang dalam Islam, dan tidak diperbolehkan ada dalam transaksi keuangan Islam.[6]
B.     Prinsip-prinsip Dasar Keuangan Syari’ah
Sebagai suatu hal yang bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah, keuangan syari’ah memiliki prinsip yang mendasari dari pada keuangan syari’ah itu sendiri. Prinsip syari’ah pada aspke keuangan yakni :
1.      Setiap perbuatan akan dimintakan pertanggungjawabannya.
2.      Setiap harta yang diperoleh terdapat pula hak orang lain.
3.      Uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka dalam perencanaan, pengorganisasian, penerapan dan pengawasan yang berhubungan dengan keuangan secara syari’ah adalah:
1.      Setiap upaya dalam memperoleh harta semestinya memperhatikan cara-cara yang sesuai dengan syari’ah seperti perniagaan atau jual beli, pertanian, industry dan jasa-jasa.
2.      Obyek yang diusahakan bukan sesuatu yang diharamkan.
3.      Harta yang diperoleh digunkan untuk hal-hal yang tidak dilarang atau mubah seperti membeli barang konsumtif. Digunakan untuk hal-hal yang dianjurkan atau disunnahkan seperti infaq, waqaf, sadaqah. Digunakan untuk hal-hal yang wajib seperti zakat.
4.      Dalam hal ini menginvestasikan uang juga harus memperhatikan prinsip “uang sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan”, dapat dilakukan secara langsung atau melalui lembaga intermediasi seperti bank syari’ah dan reksa dana syari’ah.[7]
a.      Prinsip Dasar Keuangan Syari’ah
            Perbankan Islam adalah sistem perbankan yang selain melarang bunga , juga merupakan sistem perbankan yang harus menjauhi berbagai larangan seperti larangan melakukan transaksi yang mengandung unsur gharar (ketidakpastian) , maysir (perjudian), dan mentransaksikan objek yang dilarang. Disamping menjauhi larangan-larangan, perbankan syari’ah dalam keuangan ekonomi Islam wajib melaksanakan berbagai prinsip, yaitu prinsip keadilan,prinsip kebaikan (maslahah), zakat, bebas dari riba’, bebas dari gharar, bebas dari hal yang tidak sah (bathil).
1.      Prinsip Keadilan, yakni suatu prinsip yang harus adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Serta tata hubungan sederajat atau tidak ada pihak yang dirugikan diantarnya. Selain itu juga, prinsip keadilan ini juga ini menerapkan prinsip agar menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Dalam arti kata lain, berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi risiko masing-masing pihak.
2.      Prinsip Kebaikan (Kemaslahahan), yakni prinsip yang berorientasi pada kebutuhan orang banyak atau masyarakat banyak dan berorientasi juga pada pemenuhan kebutuhan dasar bukan keinginan. Melakukan investasi pada sektor yang halal.
3.      Prinsip kesetaraan, kesukarelaan, dan keadilan, salah satunya adalah zakat. Zakat merupakan instrument keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Keadilan dan kesetaraan berarti setiap orang harus memiliki peluang yang sama dan tidak berarti bahwa mereka harus sama-sama miskin atau sama-sama kaya. Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani perbedaan social dalam masyarakat dan agar kaum muslim mampu menjalani kehidupan social dan material yang bermartabat dan memuaskan.
4.      Bebas dari riba’, riba secara bahasa berarti ziyadah (tambahan). Sedangakan, menurut istilah riba berarti pengambilan dari harta pokok atau modal secara bathil (Antonio, 1999).
5.      Bebas dari gharar, gharar artinya menjalankan suatu usaha tanpa pengetahuan yang jelas atau menjalankan transaksi denga risiko yang berlebihan.
6.      Bebas dari hal yang tidak sah (bathil), uang bukan untuk diperdagang kan, uang akan bernilai apabila di investasikan.[8]
Prinsip Bagi Hasil
            Gagasan dasar sistem keuangan Islam secara sederhana didasarkan pada adanya prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Menurut hokum perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis didirikan dengan tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama.
Mudharabah (Investasi)
            Mudharabah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkap- kan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli.
Musyarakah (Kemitraan)
            Musyarakah berasal dari kata syirkah, yang artinya pencampuran atau interaksi. Secara terminologi, syirkah adalah persekutuan usaha untuk mengambil hak atau untuk beroperasi. Musyarakah sebagai alat kerja sama antar dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dengan kondisi masing-masing pihak memberikan kontribusi dana, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangakan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana.[9]



Prinsip Umum Akuntansi Islam
Berdasarkan Surat Al Baqarah 282:
    1. Prinsip Pertanggungjawaban (accountability)
      Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dala praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.
    2. Prinsip Keadilan
      Dalam konteks akuntansi, menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.
    3. Prinsip Kebenaran
      Dalam akuntansi selalu dihadapkan pada masalah pengakuan & pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi.
C.    Pengimplementasiannya
Implementasi Prinsip Dasar Keuangan Syari’ah
Implemetasi prinsip dasar keuangan syari’ah bisa dilihat dari segi perbankan syari’ah dan produk-produknya. Pada perbankan syari’ah tentunya menerapkan suatu akad atau perjanjian didalamnya, diantaranya adalah akad Mudharabah (Investasi) dan Musyarakah (Kemitraan). Atau tergantung pada perjanjiannya, menggunakan prinsip bagi hasil pun bisa. Hanya dalam hal penerapannya, baik itu akad mudharabah atau musyarakah tidak diperkenankan untuk adanya unsur gharar, maysir, riba dan bathil. Karena prinsip tersebut dilarang oleh ajaran agama Islam, karena dalam prinsip keuangan islam itu hanya diperbolehkan untuk ada prinsip keadilan kesetaraan dan saling membantu. Kejujuran juga sangat diperlukan dalam hal ini, karena dengan kejujuran antara kedua pihak yang bertransaksi dapat memenuhi keuangan ekonomi syariah dengan dasar ibadah. Kedua pihak harus saling mengungkapkan harga awal dan hasil akhir yang diperoleh dalam kerjasamanya.
Dalam merealisasikan apa yang diinginkan dalam penerapan atau implementasi keuangan syari’ah, contohnya dalam suatu lembaga atau badan keuangan syari’ah perlu adanya kebijakan yang memiliki prinsip amanah dan keadilan, sehingga dapat terwujud tujuan daripada lembaga atau badan keuangan syari’ah tersebut dalam mensejahterakan rakyat banyak.
Kebijakan tersebut tentunya dilahirkan dari oleh para pelaku lembaga keuangan tersebut sebagai pembuat regulasi dalam operasionalnya. Seandainya para pengelola lembaga atau badan tersebut tidak mampu melahirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, maka akan terjadilah mal praktik yang dapat menyebabkan ambruknya bisnis dalam lembaga keuangan tersebut, dan dana yang dihimpun dari masyarakat hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu atau bahkan satu pihak saja.
Agar tidak sampai terjadi penyalahgunaan wewengan dalam mengurus lembaganya, maka pelaku tersebut harus memiliki moral yang baik. Setiap tindakannya dalam melahirkan suatu kebijakan akan sangat erat kaitannya dengan etika. Jika moral mereka baik, maka akan lahir kebijakan yang selalu berpihak kepada masyarakat. Sebaliknya jika moral mereka rusak, maka secara sadar lembaga keuangan tersebut menyumbangkan petaka terhadap perekonomian masyarakat.
Lembaga keuangan, khususnya bank syari’ah, menjalankan peranannya sebagai keuangan Islam. Dan bank syari’ah menjalankan perannya sebagai lembaga perantara keuangan. Bank Syari’ah mengambil posisi tengah diantara orang yang memiliki dana berlebih dan orang yang kekurangan atau membutuhkan dana. Lembaga ini juga terletak diantara kalangan pembeli dan penjual serta diantara pihak pembayar dan penerima.
 Bertolak dari hakikat kedudukannya sebagai lembaga perantara, sebuah lembaga perbankan hadir di tengah kegiatan perekonomian masyarkat bukanlah karena kebutuhan sendiri. Ia bukanlah produsen yang menghasilkan sendiri uang atau dana lalu merasa perlu untuk mendistribusikannya. Ia hadir justru karena kebutuhan masyarakat dan karena tuntunan ekonomi. Kelangsungan dan perkembangannya kelak bergantung pada sejauh mana lembaga tersebut dapat mengimplementasikan amanah yang telah diembannya serta dari profesionalitas pelaku perbankan sendiri dan bukan karena besarnya jumlah pendanaan.[10]
BAB III
PENUTUP
          Berdasarkan apa yang telah dipaparkan, bahwa keuangan syari’ah sangat berpengaruh dan memiliki peran penting dalam mengatur ekonomi Islam dan ekonomi lain. Sistem keuangan syari’ah yang menerapkan prinsip keadilan dan kemaslahahan di dalamnya dapat menjadi pedoman penting bagi masa depan keuangan ekonomi Islam. Dari sistemnya pula kita dapat mengetahui prinsip syari’ah memandang harta dan uang, bahwa sebenarnya seluruhnya kepunyaan Allah dan manusia hanya diamanahkan untuk menjaga, memelihara dan memanfaatkan uang seefisien mungkin dan seoptimal mungkin di jalan Allah. Prinsip dasar keuangan Islam juga mengakui kepemilikan pribadi dalam batasan-batasan tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi.
            Kekuatan penggerak utama keuangan ekonomi syari’ah adalah kerjasama. Seorang muslim apakan ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya. Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Dalam prinsip keuangan syari’ah pula menerapkan zakat dengan tujuan keadilan dan kesetaraan, zakat seorang muslim yang apabila kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat.
DAFTAR PUSTAKA
          Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002)
Soemitra Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2009)
            Antonio M. Syafi’I, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001)
            Sutan Remi Sjahdeini, PERBANKAN SYARIAH: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014, Cetakan ke-1
            Yaya Rizal, Martawireja Aji Erlangga, Abdurahim Ahim, Akuntansi Perbankan Syari’ah: Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat, 20014

Dumairi , Lembaga Keuangan Islam: Problem, Tantangan dan Peluang di Era Reformasi, (Makalah Seminar Problem dan Tantangan Lembaga Keuangan Syari’ah, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah), Yogyakarta: 2007


           


[1] Kasmir, Manajemen Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 2002, halaman 11
[2] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Jakarta: Kencana, 2009, halaman 19
[3] Ibid, halaman 20
[4] Ibid, halaman 21-22
[5] Ibid, halaman 23
[6] http://hanz-one.blogspot.in/2013/02/keuangan-islam-prinsip-prinsip-dasar_9041.html
[7] M. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001, halaman 237
[8] Sutan Remi Sjahdeini, PERBANKAN SYARIAH: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014, Cetakan ke-1, halaman 155
[9] Rizal yaya, Aji Erlangga Martawireja, Ahim Abdurahim, Akuntansi Perbankan Syari’ah: Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat, 20014, halaman 133-135
[10] Dumairi , Lembaga Keuangan Islam: Problem, Tantangan dan Peluang di Era Reformasi, (Makalah Seminar Problem dan Tantangan Lembaga Keuangan Syari’ah, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah), Yogyakarta: 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar