BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keuangan Syari’ah
Menurut Ibrahim Warde,
Keuangan Islam adalah lembaga keuangan milik umat Islam, melayani umat Islam,
ada dewan syari’ah, merupakan anggota organisasi internasional bank Islam
(IAIB) dan sebagainya. Lebih luas, keuangan Islam meliputi tidak hanya persoalan
perbankan, tetapi juga meliputi kerjasama saling membiayai, keamanan dan
asuransi perusahaan.
Menurut Imam Sugema
dalam Understanding Sharia, keuangan
syari’ah dengan prinsipnya adalah yang tidak mengenal riba’ bahkan melarangnya
ada dalam keuangan Islam.[1] Struktur
keuangan Islam sangat kuat dan bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta
penafsiran terhadap sumber-sumber wahyu ini oleh para ulama.
1.
Sistem
Keuangan Syari’ah
Sistem keuangan
syari’ah merupakan sistem keuangan yang menjembatani antara pihak yang
membutuhkan dana dengan pihak yang memiliki kelebihan dana melalui produk dan
jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip-prisip syari’ah. Seluruh transaksi
yang terjadi dalam kegiatan keuangan syari’ah harus dilaksanakan berdasarkan
prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah adalah prinsip yang didasarkan kepada ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam konteks Indonesia, prinsip syari’ah adalah prinsip
hukum Islam dalam kegiatan perbankan dan keuangan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syari’ah.[2]
Sistem keuangan syariah
didasari oleh dua prinsip utama, yaitu Prinsip Syar’i dan Prinsip Tabi’i.
Prinsip-prinsip Syar’i dalam system keuangan syari’ah adalah sebagai berikut :
a. Kebebasan
bertransaksi, namunn harus didasari prinsip suka sama suka dan tidak ada pihak
yang didzalimi dengan didasari oleh akad yang sah. Disamping itu, transaksi
tidak boleh dilakukan pada produk-produk yang haram.
b. Bebas
dari maghrib (maysir; yaitu judi, gharar; yaitu ketidakpastian/ penipuan dan
riba, yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil
(tidak sah)).
c. Bebas
dari upaya mengendalikan,merekayasa dan memanipulasi harga.
d. Semua
orang berhak mendapatkan informasi yang berimbang, memadai, dan akurat agar
bebas dari ketidaktahuan dalam bertransaksi.
e. Pihak-pihak
yang bertransaksi harus mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga yang mungkin
dapat terganggu, oleh karenanya pihak ketiga diberikan hak atau pilihan.
f. Transaksi
didasarkan pada kerja sama yang saling menguntungkan dan solidaritas
(persaudaraan dan saling membantu).
g. Setiap
transaksi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.
h. Mengimplementasikan
zakat.
Sedangkan,
prinsip-prinsip tabi’i adalah
prinsip-prinsip yang dihasilkan melalui interpretasi akal dan ilmu pengetahuan
dalam menjalankan bisnis seperti manajemen permodalan, dasar dan analisis
teknis, manajemen cash flow,
manajemen risiko dan lainnya.
Dengan demikian,sistem
keuangan syari’ah diformulasikan dari kombinasi dua kekuatan sekaligus, pertama
prinsip-prinsip syar’i yang diambil dari Al-Quran dan Sunnah, dan kedua
prinsip-prinsip tabi’i yang merupakan hasil interpretasi akal manusia dalam
menghadapi masalah-masalah ekonomi seperti manajemen, keuangan bisnis dan
prinsip-prinsip ekonomi lainnya yang relevan.[3]
Sistem keuangan
syari’ah merupakan aliran sistem keuangan yang didasarkan pada etika Islam.
Sistem keuangan syari’ah tidak sekedar memperhitungkan aspek return
(keuntungan) dan risiko, namun juga ikut mempertimbangkan nilai-nilai Islam di
dalamnya.[4]
2.
Fungsi Sistem Keuangan Syariah
a. Memobilisasi tabungan,
sistem keuangan syari’ah dapat mencipta- kan berbagai instrument yang dapat
digunakan untuk memobilisasi dana dalam jumlah kecil tetapi banyak.
Karakteristik pertama sistem keuangan syari’ah adalah kredibelitas yang
memainkan peran penting. Sistem keuangan yang kredibel akan mampu mengumpulkan
dana masyarakat dengan biaya yang rendah.
b. Mengalokasikan sumber daya,
sistem keuangan syari’ah dapat berperan sebagai pengumpul informasi mengenai
peluang-peluang investasi secara lebih efisien sehingga membantu memperbaiki
alokasi sumber daya. Karakteristik kedua dari sistem keuangan syari’ah yang
berfungsi dengan baik adalah kemampuan mengumpulkan, mengolah, dan
menerjemahkan informasi menjadi alat pengambil keputusan investasi yang
terlihat pada pergerakan harga instrument keuangan yang mencerminkan kondisi
fundamental.
c. Memantau para manajer dan
melaksanakan pengawasan perusahaan, sistem keuangan
syari’ah dapat berperan dalam melakukan kegiatan monitoring dan verifikasi
tersebut sehingga berdampak positif pada perkembangan investasi dan efisiensi
ekonomi. Karakteristik ketiga, sistem keuangan syari’ah yang berfungsi dengan
baik, yaitu rendahnya kasus-kasus penyelewengan oleh manajemen perusahaan-perusahaan
public atau perusahaan-perusahaan yang mendapatkan dana melalui lembaga
intermediasi.
d. Memfasilitasi perdagangan, lindung
nilai, diversifikasi, dan penggabungan risiko, karakteristik
keempat dari sistem keuangan yang berfungsi dengan baik adalah kemampuan
mendiversifikasi- kan risiko dengan baik.
e. Memfasilitasi transaksi barang dan
jasa agar lebih efisien, karakteristik kelima dari sistem
keuangan syari’ah yang berfungsi baik adalah adanya mekanisme transaksi
keuangan yang cepat, aman dan biaya rendah.[5]
3.
Karakteristik
Sistem Keuangan Syari’ah
Ada beberapa
karakteristik keuangan Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mausu’ah
Al-Ilmiyah wa Al-Amaliyah Al-Islamiyah yakni sebagai berikut:
a. Harta kepunyaan Allah dan manusia
merupakan khalifah atas harta. Karakteristik ini
dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Semua
harta, baik benda maupun alat produksi adalah milik Allah (kepunyaan Allah),
Allah berfirman dalam QS. Al- Baqarah ayat 284 : “Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika
kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah
memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia
kehendaki dan mengazab siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.
b) Manusia
adalah khalifah atas harta miliknya, yang kemudian diterangkan dalam QS.
Al-Hadid ayat 7 : “Berimanlah kamu kepada
Allah dan Rasul-Nya dan infaqkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang
Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang
beriman diantara kamu dan menginfaqkan (hartanya dijalan Allah) memperoleh
pahala yang besar”.
Berdasarkan ayat-ayat
tersebut terlihat jelas perbedaan antara sistem kepemilikan dalam sistem
ekonomi keuangan Islam dan sistem ekonomi lainnya. Dalam sistem Islam
kepemilikan pribadi, walaupun hakekatnya tidak mutlak dan pemanfaatannya tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam.
b.
Keuangan
terikat dengan aqidah, syari’ah (hukum) dan moral.
Hubungan keuangan Islam
dengan aqidah dan syari’ah sangatlah nampak dalam banyak hal. Hubungan tersebut
menjadikan kegiatan ekonomi dalam Islam menjadi sebuah rangkaian ibadah.
Sedangkan, untuk
hubungan antara keuangan syari’ah dengan moral, dapat dilihat dari larangan
Nabi dalam penggunaan harta milik yang dapat menimbulkan kerugian kepada orang
lain dan kepentingan masyarakat, larangan melakukan penipuan dalam transaksi,
serta larangan menimbun harta yang dapat menimbulkan kelangkaan barang dan
menghambat peredaran uang yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi
masyarakat.
c. Keseimbangan
antara kerohanian dan kebendaan.
d. Ekonomi
Islam menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan
umum.
e. Kebebasan
individu dijamin dalam Islam.
f. Negara
diberi wewenang untuk turut campur dalam perekonomian Islam.
g. Bimbingan
konsumsi. Segala sesuatu telah diatur dalam Islam, termasuk dalam pemakaian
atau konsumsi terhadap barang produksi dimana Allah telah melarang manusia
untuk berlebih- lebihan dan bermewah-mewahan serta bersikap angkuh yang
bertentangan dengan prinsip kesederhanaan dalam Islam.
h. Petunjuk
investasi. Dalam Islam ada lima criteria yang dijadikan pedoman dalm proyek
investasi, yaitu:
a) Proyek
yang baik menurut Islam,
b) Memberikan
rezeki seluas mungkin kepada masyarakat luas,
c) Memberantas
kefakiran, memperbaiki pendapatan serta keuangan dan kekayaan,
d) Memelihara
dan dapat menumbuhkembangkan harta,
e) Melindungi
kepentingan anggota masyarakat.
i.
Zakat. Zakat merupakan karakteristik
yang sangat menonjol dalam sistem ekonomi dan keuangan Islam yang tidak
terdapat dalam sistem ekonomi dan keuangan lainnya, dimana seseorang dituntut
untuk menyisihkan dan mengeluarkan sebagian dari hartanya bagi saudaranya yang
lebih membutuhkan sebagai sarana pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki
ataupun dendam.
j.
Larangan riba’. Dalam penggunaannya uang
harus sesuai dengan fungsi normalnya yaitu sebagai alat transaksi dan alat
penilaian barang. Sedangkan, riba’ adalah salah satu penyelewengan uang dari
fungsi normalnya oleh karena itu hal ini sangat dilarang dalam Islam, dan tidak
diperbolehkan ada dalam transaksi keuangan Islam.[6]
B.
Prinsip-prinsip
Dasar Keuangan Syari’ah
Sebagai suatu hal yang bersumber
pada Al-qur’an dan Sunnah, keuangan syari’ah memiliki prinsip yang mendasari
dari pada keuangan syari’ah itu sendiri. Prinsip syari’ah pada aspke keuangan
yakni :
1. Setiap
perbuatan akan dimintakan pertanggungjawabannya.
2. Setiap
harta yang diperoleh terdapat pula hak orang lain.
3. Uang
sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Berdasarkan prinsip
tersebut, maka dalam perencanaan, pengorganisasian, penerapan dan pengawasan
yang berhubungan dengan keuangan secara syari’ah adalah:
1. Setiap
upaya dalam memperoleh harta semestinya memperhatikan cara-cara yang sesuai
dengan syari’ah seperti perniagaan atau jual beli, pertanian, industry dan
jasa-jasa.
2. Obyek
yang diusahakan bukan sesuatu yang diharamkan.
3. Harta
yang diperoleh digunkan untuk hal-hal yang tidak dilarang atau mubah seperti
membeli barang konsumtif. Digunakan untuk hal-hal yang dianjurkan atau
disunnahkan seperti infaq, waqaf, sadaqah. Digunakan untuk hal-hal yang wajib
seperti zakat.
4. Dalam
hal ini menginvestasikan uang juga harus memperhatikan prinsip “uang sebagai
alat tukar, bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan”, dapat dilakukan secara
langsung atau melalui lembaga intermediasi seperti bank syari’ah dan reksa dana
syari’ah.[7]
a.
Prinsip
Dasar Keuangan Syari’ah
Perbankan
Islam adalah sistem perbankan yang selain melarang bunga , juga merupakan
sistem perbankan yang harus menjauhi berbagai larangan seperti larangan
melakukan transaksi yang mengandung unsur gharar
(ketidakpastian) , maysir (perjudian),
dan mentransaksikan objek yang dilarang.
Disamping menjauhi larangan-larangan, perbankan syari’ah dalam keuangan ekonomi
Islam wajib melaksanakan berbagai prinsip, yaitu prinsip keadilan,prinsip kebaikan (maslahah), zakat, bebas dari riba’,
bebas dari gharar, bebas dari hal yang tidak sah (bathil).
1. Prinsip Keadilan,
yakni suatu prinsip yang harus adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Serta tata hubungan sederajat atau tidak ada pihak yang dirugikan diantarnya.
Selain itu juga, prinsip keadilan ini juga ini menerapkan prinsip agar
menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Dalam arti kata lain, berbagi
keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi risiko masing-masing
pihak.
2. Prinsip Kebaikan (Kemaslahahan),
yakni prinsip yang berorientasi pada kebutuhan orang banyak atau masyarakat
banyak dan berorientasi juga pada pemenuhan kebutuhan dasar bukan keinginan.
Melakukan investasi pada sektor yang halal.
3. Prinsip kesetaraan, kesukarelaan,
dan keadilan, salah satunya adalah zakat. Zakat
merupakan instrument keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Keadilan dan
kesetaraan berarti setiap orang harus memiliki peluang yang sama dan tidak
berarti bahwa mereka harus sama-sama miskin atau sama-sama kaya. Tujuan
utamanya adalah untuk menjembatani perbedaan social dalam masyarakat dan agar
kaum muslim mampu menjalani kehidupan social dan material yang bermartabat dan
memuaskan.
4. Bebas dari riba’,
riba secara bahasa berarti ziyadah
(tambahan). Sedangakan, menurut istilah riba berarti pengambilan dari harta
pokok atau modal secara bathil (Antonio, 1999).
5. Bebas dari gharar,
gharar artinya menjalankan suatu usaha tanpa pengetahuan yang jelas atau
menjalankan transaksi denga risiko yang berlebihan.
6. Bebas dari hal yang tidak sah
(bathil), uang bukan untuk diperdagang kan, uang akan
bernilai apabila di investasikan.[8]
Prinsip
Bagi Hasil
Gagasan
dasar sistem keuangan Islam secara sederhana didasarkan pada adanya prinsip
bagi hasil (profit and loss sharing). Menurut hokum perniagaan Islam, kemitraan
dan semua bentuk organisasi bisnis didirikan dengan tujuan pembagian keuntungan
melalui partisipasi bersama.
Mudharabah
(Investasi)
Mudharabah
adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah
keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkap- kan biaya perolehan
barang tersebut kepada pembeli.
Musyarakah
(Kemitraan)
Musyarakah
berasal dari kata syirkah, yang
artinya pencampuran atau interaksi. Secara terminologi, syirkah adalah persekutuan usaha untuk mengambil hak atau untuk
beroperasi. Musyarakah sebagai alat kerja sama antar dua pihak atau lebih untuk
usaha tertentu dengan kondisi masing-masing pihak memberikan kontribusi dana,
dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangakan
kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana.[9]
Prinsip Umum Akuntansi Islam
Berdasarkan Surat Al Baqarah 282:
- Prinsip Pertanggungjawaban
(accountability)
Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dala praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait. - Prinsip Keadilan
Dalam konteks akuntansi, menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan. - Prinsip Kebenaran
Dalam akuntansi selalu dihadapkan pada masalah pengakuan & pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini akan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi.
C.
Pengimplementasiannya
Implementasi
Prinsip Dasar Keuangan Syari’ah
Implemetasi prinsip
dasar keuangan syari’ah bisa dilihat dari segi perbankan syari’ah dan
produk-produknya. Pada perbankan syari’ah tentunya menerapkan suatu akad atau
perjanjian didalamnya, diantaranya adalah akad Mudharabah (Investasi) dan Musyarakah
(Kemitraan). Atau tergantung pada perjanjiannya, menggunakan prinsip bagi hasil
pun bisa. Hanya dalam hal penerapannya, baik itu akad mudharabah atau
musyarakah tidak diperkenankan untuk adanya unsur gharar, maysir, riba dan
bathil. Karena prinsip tersebut dilarang oleh ajaran agama Islam, karena dalam
prinsip keuangan islam itu hanya diperbolehkan untuk ada prinsip keadilan
kesetaraan dan saling membantu. Kejujuran juga sangat diperlukan dalam hal ini,
karena dengan kejujuran antara kedua pihak yang bertransaksi dapat memenuhi
keuangan ekonomi syariah dengan dasar ibadah. Kedua pihak harus saling
mengungkapkan harga awal dan hasil akhir yang diperoleh dalam kerjasamanya.
Dalam merealisasikan
apa yang diinginkan dalam penerapan atau implementasi keuangan syari’ah,
contohnya dalam suatu lembaga atau badan keuangan syari’ah perlu adanya
kebijakan yang memiliki prinsip amanah dan keadilan, sehingga dapat terwujud
tujuan daripada lembaga atau badan keuangan syari’ah tersebut dalam
mensejahterakan rakyat banyak.
Kebijakan tersebut
tentunya dilahirkan dari oleh para pelaku lembaga keuangan tersebut sebagai
pembuat regulasi dalam operasionalnya. Seandainya para pengelola lembaga atau
badan tersebut tidak mampu melahirkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat,
maka akan terjadilah mal praktik yang dapat menyebabkan ambruknya bisnis dalam
lembaga keuangan tersebut, dan dana yang dihimpun dari masyarakat hanya
dinikmati oleh orang-orang tertentu atau bahkan satu pihak saja.
Agar tidak sampai
terjadi penyalahgunaan wewengan dalam mengurus lembaganya, maka pelaku tersebut
harus memiliki moral yang baik. Setiap tindakannya dalam melahirkan suatu
kebijakan akan sangat erat kaitannya dengan etika. Jika moral mereka baik, maka
akan lahir kebijakan yang selalu berpihak kepada masyarakat. Sebaliknya jika
moral mereka rusak, maka secara sadar lembaga keuangan tersebut menyumbangkan
petaka terhadap perekonomian masyarakat.
Lembaga keuangan,
khususnya bank syari’ah, menjalankan peranannya sebagai keuangan Islam. Dan
bank syari’ah menjalankan perannya sebagai lembaga perantara keuangan. Bank
Syari’ah mengambil posisi tengah diantara orang yang memiliki dana berlebih dan
orang yang kekurangan atau membutuhkan dana. Lembaga ini juga terletak diantara
kalangan pembeli dan penjual serta diantara pihak pembayar dan penerima.
Bertolak dari hakikat kedudukannya sebagai
lembaga perantara, sebuah lembaga perbankan hadir di tengah kegiatan
perekonomian masyarkat bukanlah karena kebutuhan sendiri. Ia bukanlah produsen
yang menghasilkan sendiri uang atau dana lalu merasa perlu untuk
mendistribusikannya. Ia hadir justru karena kebutuhan masyarakat dan karena
tuntunan ekonomi. Kelangsungan dan perkembangannya kelak bergantung pada sejauh
mana lembaga tersebut dapat mengimplementasikan amanah yang telah diembannya
serta dari profesionalitas pelaku perbankan sendiri dan bukan karena besarnya
jumlah pendanaan.[10]
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan
apa yang telah dipaparkan, bahwa keuangan syari’ah sangat berpengaruh dan
memiliki peran penting dalam mengatur ekonomi Islam dan ekonomi lain. Sistem
keuangan syari’ah yang menerapkan prinsip keadilan dan kemaslahahan di dalamnya
dapat menjadi pedoman penting bagi masa depan keuangan ekonomi Islam. Dari
sistemnya pula kita dapat mengetahui prinsip syari’ah memandang harta dan uang,
bahwa sebenarnya seluruhnya kepunyaan Allah dan manusia hanya diamanahkan untuk
menjaga, memelihara dan memanfaatkan uang seefisien mungkin dan seoptimal
mungkin di jalan Allah. Prinsip dasar keuangan Islam juga mengakui kepemilikan
pribadi dalam batasan-batasan tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan
faktor produksi.
Kekuatan
penggerak utama keuangan ekonomi syari’ah adalah kerjasama. Seorang muslim
apakan ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan
sebagainya. Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya
direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Dalam prinsip keuangan syari’ah
pula menerapkan zakat dengan tujuan keadilan dan kesetaraan, zakat seorang
muslim yang apabila kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan
membayar zakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Kasmir, Manajemen Perbankan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2002)
Soemitra
Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah,
(Jakarta: Kencana, 2009)
Antonio
M. Syafi’I, Bank Syari’ah: Dari Teori ke
Praktik, (Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001)
Sutan Remi Sjahdeini, PERBANKAN SYARIAH: Produk-produk dan
Aspek-aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014, Cetakan ke-1
Yaya Rizal, Martawireja Aji
Erlangga, Abdurahim Ahim, Akuntansi
Perbankan Syari’ah: Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat,
20014
Dumairi
, Lembaga Keuangan Islam: Problem,
Tantangan dan Peluang di Era Reformasi, (Makalah Seminar Problem dan
Tantangan Lembaga Keuangan Syari’ah, Fakultas Ekonomi, Universitas
Muhammadiyah), Yogyakarta: 2007
[1] Kasmir, Manajemen
Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 2002, halaman 11
[2] Andri Soemitra,
Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah,
Jakarta: Kencana, 2009, halaman 19
[3] Ibid, halaman 20
[4] Ibid, halaman 21-22
[5] Ibid, halaman 23
[6]
http://hanz-one.blogspot.in/2013/02/keuangan-islam-prinsip-prinsip-dasar_9041.html
[7] M. Syafi’I
Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik,
Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001, halaman 237
[8] Sutan Remi
Sjahdeini, PERBANKAN SYARIAH:
Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2014, Cetakan
ke-1, halaman 155
[9] Rizal yaya, Aji
Erlangga Martawireja, Ahim Abdurahim, Akuntansi
Perbankan Syari’ah: Teori dan Praktik Kontemporer, Jakarta: Salemba Empat,
20014, halaman 133-135
[10] Dumairi ,
Lembaga Keuangan Islam: Problem, Tantangan dan Peluang di Era Reformasi,
(Makalah Seminar Problem dan Tantangan Lembaga Keuangan Syari’ah, Fakultas
Ekonomi, Universitas Muhammadiyah), Yogyakarta: 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar